Kamis, 12 Februari 2009

RAHIM SEMESTA PUN MELAHIRKAN


Seorang sahabat memberikan kehormatan kepada saya supaya ikut urun mencarikan nama anaknya yang pertama. Ini sebuah anugerah istimewa sekaligus sebuah tantangan kesulitan. Saya hampir selalu mengalami kebingungan bila harus menentukan sebuah nama. Nama-nama anak saya bukanlah hasil pemberian saya. Nama-nama itu diberikan oleh seseorang yang amat sangat saya percaya layak memberi nama anak saya. Ketika nama-nama itu sampai di tangan saya, hati rasanya teduh dan saya bisa legowo rela menerima. Ada keyakinan dalam hati bahwa nama-nama itu sangatlah istimewa, karena menurut keyakinan saya, ia digagas dengan tingkat kewaskitaan tertentu: suatu maqam yang saya sangat jauh tertinggal di belakangnya.

Baiklah, kita tentu paham bahwa nama adalah sebuah doa, harapan, cita-cita masa depan karakter sang anak. Ketika jabang bayi lahir ke dunia ia harus segera bergabung dengan irama dan hukum alam. Ia harus bernama karena tiada satu pun makhluk Allah di dunia tidak memiliki nama. Nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya akan menyatu dengan seluruh aspek darah kehidupan anak. Nama itu akan bersetubuh dalam proses panjang perjalanan hidup anak saat ia harus mengolah diri menjadi hamba Allah. Belum ada penelitian yang akurat tentang pengaruh nama terhadap keberhasilan anak menggapai ridlo Tuhannya.

Oleh karena itu, justru yang menarik perhatian saya adalah gelar yang kerap disandangkan untuk nama seseorang. Kita mengenal sahabat Nabi Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar ibn Khattab Al-Faruq, Utsman ibn ‘Affan Dzun Nurayn, Ali ibn Abi Thalib Al-Murtadla. Abu Hurairah ra juga bukan nama sebenarnya, sebagaimana Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Apa yang dapat kita pelajari dari mereka?

Nama yang kita berikan kepada anak kita adalah tetenger saat sang anak terdaftar menjadi warga umat manusia. Tetenger ini akan menjadi nama merk seorang pribadi mandiri nan unik. Mengapa unik? Karena bukankah setiap anak manusia terlahir dengan warna-pribadi yang memancarkan potensi-potensi tertentu yang hampir selalu berbeda dengan orang lain? Selanjutnya, dalam proses panjang hidupnya, seperti yang kita alami saat ini, kita dan anak kita akan berjuang mengolah diri, meningkatkan peran dan kualitas diri guna menunjukkan eksistensi ke-ada-an kita dengan melayani hamba-hamba-Nya. Eksistensi ke-ada-an kita justru harus diraih dengan meniadakan adanya kita. Di tengah perjalanan memfanakan diri kita akan mengalami kiamat shugra atau kiamat kecil berupa kematian kesadaran eksistensial untuk lahir kembali menjadi pribadi baru. Nama Raden Said terasa terkubur begitu saja setelah ia lahir kembali menjadi manusia baru yang bernama (Sunan) Kalijogo.

Bagaimana proses kematian hingga melahirkan sebuah pribadi anyar dengan nama yang baru dapat dijelaskan?

Semua itu berkaitan dengan upaya internal transedensi kita kepada Allah. Dalam beberapa tulisan terdahulu saya pernah menyingung dua samudera kegelapan. Gerangan apakah ia? Samudera pertama adalah kegelapan sebelum kita lahir kedunia dan samudera kedua adalah kegelapan setelah kita mati. Samudera kegelapan sebelum kita lahir dan samudera kegelapan sesudah kita mati jangkauan waktunya tidak terukur alias tanpa batas. Jadi, hidup kita di dunia sesungguhnya hanya sekejap; kita diapit oleh dua kegelapan yang tiada ujung tiada akhir.

Kita harus menempuh dua samudera itu karena Allah membebani kita agar meneranginya. Upaya menempuh samudera kegelapan sebelum lahir disebut tawakkal. Dengan tawakkal samudera kegelapan sebelum lahir akan menjadi terang. Tawakkal adalah meng-Allah, mematikan ego individualitas kemanusiaan kita untuk menyalakan cahaya Rahmaniyyah dan menyelaraskan langkah dengan Qudratullah-Iradatullah. Kita berupaya menggapai sifat Al-Awwal Tuhan untuk menerangi kegelapan sebelum lahir. Mistik Jawa menyebutnya mati sajeroning urip.

Kematian individu ditandai dengan munculnya kesadaran bahwa ia bukan sosok pribadi, bukan suku Jawa atau Cina, bukan orang nJombang, bukan anggota partai politik, melainkan ia adalah hamba Tuhan. Ia terbebas dari kotak-kotak identitas kultural, budaya, politik, ekonomi. Ia adalah seorang pelayan Tuhan, hamba Tuhan, Abdullah. Hidup-mati dan ibadahnya dipersembahkan untuk Allah. Itulah saat ia lahir kembali sebagai hamba Allah dengan memandang dan memperlakukan orang lain sebagai hamba Allah pula. Dengan demikian ia tidak punya cita-cita pribadi. Ia tidak memiliki obsesi pribadi. Ia tidak punya kepentingan pribadi. Ia tidak melantunkan doa-doa pribadi. Orang semacam ini sudah menyemesta. Dirinya sudah bukan “dirinya” yang dulu. Ia mengalami situasi mati sajeroning urip. Ia menemukan identitas dirinya yang paling final dan universal.

Bagaimana kematian eksistensial itu bisa dicapai? Pertama-tama, ia menuntaskan laku transedensi internal dengan benar-benar memahami qudrah dan iradatullah atas dirinya. Baginya Tuhan juga punya hak dan maksud atas hidup dan masa depannya. Untuk itu ia tidak merancang bangunan cita-cita dan masa depannya secara membabibuta dengan mengedepankan obsesi ilmu dan logika tawar menawar untung rugi. duniawi yang sempit. Ia adalah orang yang selalu taren dengan Tuhannya. Diserahkannya setiap pilihan masa depan hanya kepada Tuhan. Tak pernah henti ia menyibak rahasia qudrah dan iradatullah dalam dirinya, baik berupa kelemahan dan potensi diri maupun rupa-rupa peristiwa yang menghambur di depannya. Ia pembaca sejati ayat-ayat Allah.

Kesadaran ini selalu ditancapkannya baik ketika shalat maupun di saat ia melayani hamba-hamba-Nya dalam berkegiatan sehari-hari (shalat daim). Intinya ia adalah orang yang sangat sungguh-sungguh ber-Iyyaakana’budu. Dan atas segala lemah diri, lemah ilmu, lemah wawasan, lemah motivasi, ia juga sangat sungguh-sungguh ber-Iyyaakanasta’in. Untuk apa? Agar qudrah dan iradatullah yang terbentang di jalan lurus Tuhan bisa diraihnya. Ia pun melantunkan permohonan, Ihdinash shiraatal mustaqiim. ‘Tunjukilah aku, ya Allah, pada jalan-Mu yang lurus. Jalan lurus obyektivitas ilmu, luasnya wawasan, cara pandang yang tepat atas sebuah masalah, kedalaman penghayatan kehambaan, kesanggupan berbagi dan mendengar rintihan-rintihan saudaranya, dan seperangkat ilmu apapun yang menurut Engkau relevan untuk mengemban amanah kehambaan, mewakili Peran-Mu di bumi.’

Sejak itulah ia mulai melaksanakan peran ketuhanan di muka bumi. Maka, logika administratif manusia memunculkan gelar-gelar. Gelar Al-Shiddiq yang melekat pada nama Abu Bakar ra merupakan puncak karakter dominan yang dicapainya. Sunan Kalijogo adalah nama baru setelah Raden Said membunuh ego hitam dirinya dengan bertapa menunggu sebuah tongkat di tepi sungai. Gelar-gelar positif itu tidak lain adalah wajah dari sisi paling terang yang telah digapai oleh seseorang.

Demikian pula ketika seseorang mencapai sisi tergelap dalam hidupnya, ia akan menerima gelar atau nama yang mencerminkan karakter dominannya.

Kembali ke soal nama; nama-nama anak kita akan menjadi aset harapan yang mencerminkan karakter hidup dan masa depannya. Kewajiban kita adalah mendampinginya menempuh episode perjalanan hidupnya. Akankah anak kita berhasil memadamkan ego dirinya untuk lahir kembali dari rahim perjuangan mengolah diri, ataukah justru akan terjerembab di kubangan lumpur jaman yang kian pekat? Akankah kita berperan menjadi orangtua yang efektif untuk mengantarkan kematian maknawi hidup anak-anak kita sehingga semesta memangilnya dengan gelar yang akan dikenang sepanjang jaman? Seberapa efektif kesadaran peran kita sebagai ayah dan ibu yang tentu tidak hanya berperan sebagai orangtua biologis, tetapi juga berperan sebagai orangtua ruhani yang mendidiknya menjadi insan paripurna? Sanggupkah kita, para orangtua, memerankan tugas berat itu di tengah kepungan angin puting beliung yang mempora-porandakan bangunan akhlaq dan religiutas anak-anak kita? Sudahkan kita bercermin pada diri sendiri bahwa kita sering terlenan dan tidak melahirkan siapa-siapa, kecuali melahirkan seorang bayi yang kelak kita atur-atur hidupnya dengan bingkai obsesi pribadi dengan mengatasnamakan masa depan anak? Lantas, diri kita sendiri, para orangtua, sudahkan mengalami kematian maknawi?

Semua itu tidak mudah dan hanya tersedia dua pilihan. Bila ia hidup (ego hidup, kepentingan pribadi hidup, cita-cita pribadi hidup, obsesi pribadi hidup), Allah akan mati. Bila ia mati (ego mati, kepentingan pribadi mati, cita-cita pribadi mati, obsesi pribadi mati), Allah akan hidup. Itulah saat ketika anak kita berhasil mematikan api ke-akuan dirinya, semesta akan memanggilnya dengan nama baru, gelar baru, sesuai sisi paling terang yang berhasil digapainya. Anak kita telah lahir kembali dari rahim semesta yang tiada pernah berhenti melantunkan tasbih kepada Allah Yang Maha Suci.

Wassalam,

Adryan Mulya Hadinata Husein
"Om_Ry@n"

0 komentar:

Posting Komentar